Oleh: subair | April 8, 2022

PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEK DALAM ISLAM

A. Konsep Islam Tentang Tujuan Penciptaan Manusia

Manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki kemampuan istimewa dan menempati kedudukan tertinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Al-Quran secara jelas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki rasa tanggung jawab, yang diciptakan dengan membawa sifat-sifat ketuhanan. Dalam Islam, manusia diciptakan dan dilahirkan ke muka bumi ini dengan mengemban dua tanggung jawab besar yang harus ditunaikannya selama masa hidupnya di dunia ini. Kedua tugas tersebut apabila dilaksanakan dengan baik maka akan menjadi sebab kebahagiaannya pada kehidupan berikutnya, dan sebaliknya, apabila kedua tugas tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menjadi sebab kesengsaraannya pada kehidupan berikutnya di akhirat nanti. Adapun tugas yang sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia tersebut adalah:

1. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah.

Bahkan menurut Hamka, tujuan diciptakannya manusia hanyalah satu, yaitu untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu segala aktifitas manusia di dunia ini hendaknya bermuara kepada satu tujuan, yaitu untuk mencapai ridha-Nya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak dilebihkan atas kaum perempuan dalam masalah kewajiban dan kemuliaan ibadahnya, begitu pula sebaliknya. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya diciptakan dari dzat yang sama, memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta dengan tujuan yang sama pula. Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, tetapi kesempurnaan tersebut tidak bernilai apapun manalaka dalam hidupnya tidak diisi dengan penghambaan kepada Allah. Karena tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, maka segala kegiatan manusia harus merupakan bentuk ibadah, yaitu ibadah dalam arti luas, tidak hanya ibadah sebagaimana yang diatur dalam syariah Islam (ibadah mahdhah), tetapi juga ibadah dalam bentuk sikap, ucapan, dan tindakan yang baik (ibadah ghairu mahdhah) yang dilakukan atas dasar keikhlasan dengan tujuan ingin mencapai ridha Allah. Setiap kegiatan manusia dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ke-ridlo-an Allah. Misalnya, bersosialisasi dengan masyarakat yang baik adalah ibadah, atau bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga juga merupakan ibadah, bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah apabila dimaksudkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Karena jasad manusia merupakan tempat dimana jiwa berada, meskipun jiwa merupakan substansi paling utama dalam diri manusia, namun jiwa tidak akan dapat tumbuh atau berkembang tanpa adanya jasad yang sehat. Kesehatan jasad berdampak pada kesehatan akal manusia, bahkan pada akhirnya berdampak pula pada kesehatan budi atau akhlak manusia, karena itu menjaga tubuh dari penyakit merupakan bagian dari ibadah.

2. Manusia diciptakan sebagai khalifah (pemelihara) di muka bumi.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan istimewa dan menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk-makhluk Allah lainnya, yaitu menjadi khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi. Hal ini sebagaimana seperti yang terdapat pada surat Al-Baqarah (2): 30 yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Menurut Hamka, pada diri setiap manusia terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal (al-’aql), hati (ruh), dan panca indera. Perpaduan ketiga unsur itulah yang dapat membantu manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradaban, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Firman Allah dalam surat alNahl (16): 78: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui suatu apapun, dan dijadikannya untuk kamu pendengaran dan penglihatan, serta hati supaya kamu bersyukur.”

Demikianlah manusia diciptakan tidak untuk hal yang sia-sia, tetapi untuk tujuan yang mulia, yaitu sebagai hamba yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Tuhannya, juga sebagai wakil Tuhan memelihara kehidupan di muka bumi. Konsekuensi dari kedua konsep ini adalah bahwa segala kegiatan manusia akan dinilai dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak di akhirat. Bertolak dari konsep tersebut Islam memandang bahwa masalah penghadiran manusia ke muka bumi ini bukan masalah yang sepele. Islam menghendaki dan karenanya selalu membimbing manusia berada pada tatanan yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu manusia dikaruniai akal pikiran, perasaan, serta tubuh yang sempurna. Berkaitan dengan hal ini, Islam melalui al-Quran telah menyatakan tentang kesempurnaan diri manusia tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Tin ayat 4 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Kesempurnaan yang dianugerahkan tersebut dimaksudkan agar manusia menjadi makhluk Allah yang dapat mengembangkan diri serta menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan di muka bumi, dengan cara mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dibekalkan oleh Allah kepadanya. Dalam ayat-ayat al-Qur’an terdapat sejumlah pernyataan yang memposisikan manusia sebagai mahluk pilihan, berkualitas tinggi, kreatif serta produktif. Dalam sejarahnya yang panjang, sejauh ini memang hanya manusia saja yang telah membuktikan kesanggupannya dalam memadukan beberapa macam sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi mahluk yang berperadaban tinggi.

B. Klasifikasi Potensi Dasar Manusia

Untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia dibekali oleh Allah berbagai potensi jiws (al-qalb), jasad (al-jism), serta akal (al-aql), dan karenanya dipikulkan kepada manusia tugas dan tanggung jawab sebagai hamba sekaligus sebagai pemelihara kelestarian alam semesta (khalifah fi al-ardh). Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana risalah dan agama Allah sehingga ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Potensi-potensi yang diberikan oleh sang pencipta kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah)-Nya yang diperuntukkan bagi manusia agar dengan potensi-potensi tersebut ia dapat melakukan sikap hidup yang serasi dan sesuai dengan hakekat penciptaannya.

Ketika manusia baru lahir potensinya belum dapat diketahui. Pada masa tersebut manusia (bayi) membawa anugerah Allah yang berupa ghazirah atau naluri (insting), seperti menangis, merasakan lapar, haus, dingin, panas, dan sebagainya. Potensi tersebut secara bertahap terus mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Pengembangan potensi manusia akan terus berlangsung melalui proses pendidikan dan penyesuaian diri dengan lingkungan semenjak ia lahir hingga menemui ajalnya. Pendengaran dan penglihatan adalah penghubung antara manusia dengan alam sekitarnya. Hasil penglihatan tersebut akan terbawa ke dalam hati dan akal manusia. Dengan kerja sama yang baik antara penglihatan dan pendengaran yang hasilnya kemudian dibawa untuk diolah oleh hati dan akal, maka akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat untuk hidup manusia. Akal dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan anugerah terbesar dari Allah. Kekuatan akal dan ilmu pengetahuan menjadi bekal utama bagi manusia untuk melaksanakan tugas hidupnya baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi, senantiasa tunduk menyembah kepada-Nya dan memakmurkan alam semesta. Dengan potensi tersebut, manusia haruslah bersyukur dengan cara menggunakan anugerah akal dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Karena kelak segala yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya pasti akan dituntut pertanggungjawabannya. Dalam surat al-An’am (6): 165 Allah berfirman, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.”

Islam menghendaki manusia berada pada posisi tatanan kehidupan yang tinggi, mulia, dan luhur, karenanya manusia dikaruniai akal, perasaan, serta tubuh yang sempurna. Islam melalui ayat-ayat al-Quran telah mengisyaratkan tentang kesempurnaan diri manusia tersebut. Kesempurnaan demikian dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna bagi lingkungannya, sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Al-Quran menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah Sang Pencipta.

Berkaitan dengan potensi manusia, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Dalam hal ini sebenarnya para filosof tidak pernah sependapat tentang potensi apa saja yang perlu dikembangkan oleh manusia. Misalnya Hasan Langgulung, melalui pendekatan historis, ia menjelaskan bahwa di Yunani Kuno satu-satunya potensi pada diri manusia yang harus dikembangkan di kerajaan Sparta kala itu adalah potensi jasmaninya. Hal tersebut berbeda dengan di kerajaan Athena dimana yang dipentingkan untuk dikembangkan adalah potensi ruhaninya seperti kecerdasan otak. Menurut Azhar Basyir, apabila ditinjau dari substansinya, maka manusia terdiri dari potensi materi yang berasal dari bumi dan potensi ruh yang berasal dari Tuhan. Pendapat tersebut dikuatkan dan dikemukakan pula oleh Syahminan Zaini yang mengatakan bahwa unsur pembentuk manusia terdiri dari tanah sebagai potensi jasmani, dan ruh sebagai potensi rohani yang asalnya dari Allah. Demikian pula Muhaimin dan Abdul Mujib yang berpendapat bahwa pada hakekatnya manusia terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen jasmani (jasad) dan komponen rohani (ruh), menurut mereka komponen jasmani berasal dari tanah dan komponen rohani ditiupkan langsung oleh Allah. Abuddin Nata, pun berkesimpulan bahwa berdasarkan pendapat para filosof, secara umum dapat dikatakan bahwa manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Dari pendapat yang dikemukakan di atas, maka potensi manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani.

Dari klasifikasi yang dikemukakan di atas, beberapa ahli filsafat pendidikan menguraikan potensi rohani manusia secara lebih terperinci ke dalam beberapa bagian, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa potensi rohani manusia itu terdiri dari empat unsur pokok, yaitu ruh, qalb, nafs, dan akal. Pembagian potensi ruhani tersebut sedikit berbeda dengan klasifikasi potensi rohani yang dikemukakan oleh Muhaimin dan Abdul Mujib yang membagi potensi rohani manusia menjadi tiga bagian, yaitu potensi fitrah, qolb, dan akal. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa potensi manusia dapat diklasifikasikan kepada potensi jasmani dan potensi rohani.

Hamka memasukkan fitrah manusia sebagai potensi yang paling penting yang diberikan Allah kepada manusia. Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Rum (30): 30 yang artinya, “Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama dalam keadaan lurus. Fitrah yang telah Dia fitrahkan manusia atasnya. Sekal-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus. Tetapi teramat banyaklah manusia yang tidak mengetahui.” Kata “fitrah” dalam ayat tersebut dimaknai sebagai rasa asli murni yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, yaitu jiwa yang mengakui adanya Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi di alam raya ini. Fitrah tumbuh bersama akal, bahkan Hamka mengatakan bahwa fitrah-lah yang menumbuhsuburkan akal di dalam diri manusia. Penafsirannya tentang kata “fitrah” memperlihatkan bahwa ia berpikir kontekstual sesuai dengan konteks zaman yang dihadali. Dalam konteks ilmu pengetahuan, fitrah manusia dimaknai sebagai potensi atau kemampuan dasar yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktifitas dengan alat – yang disebutnya sebagai ghazirah, yaitu hati (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-’aql) – yang menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi.

Potensi-potensi yang ada pada diri manusia – baik potensi jasmani maupun ruhani – sangatlah penting sebagai karunia yang diberikan Allah kepada manusia agar manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah adalah wakil Alah untuk memelihara dan melestarikan kehidupan di alam ini, karenanya itu adalah suatu kedudukan yang istimewa di dalam alam semesta ini. Tanpa berbagai potensi tersebut, manusia tidak akan mampu melaksanakan amanahnya sebagai seorang khalifah. Sehingga penting bagi manusia untuk bisa mengembangkan potensi-potensi tersebut agar dapat bermanfaat sebagai sebuah kekuatan dan nilai lebih manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya.

C. Potensi Manusia (Jasman dan Rohani) Dalam Pengembangan Iptek

Ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali disebut dengan istilah yang lebih ringkas, yaitu sains. Secara etimologis, kata “sains” berasal dari kata sienz, ciens, cience, syence, scyence, scyense, scyens, scienc, sciens, scians, yaitu kata dasar yang diambil dari kata “scientia” yang berarti “knowledge” (ilmu pengetahuan). Namun demikian tidak semua ilmu boleh dianggap sebagai sains. Karena yang dimaksud dengan ilmu sains secara terminologis adalah ilmu yang dapat diuji (hasil dari pengamatan secara empiris) kebenarannya dan dikembangkan dengan sistem tertentu dengan kaedah-kaedah tertentu pula berdasarkan kebenaran atau kenyataan empiris sehingga pengetahuan yang dipedomani tersebut dapat dipercaya dan diyakini kebenarannya baik melalui eksperimen (observasi) maupun eksperience (pengalaman) secara teoritis. Menurut kamus umum bahasa Indonesia, sains didefinisikan sebagai ilmu yang teratur (sistematik) yang dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya, berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata. Misal ilmu fisika, kimia, biologi, serta ilmu-ilmu pasti lainnya.

Berbeda dengan ilmu sosial, ilmu sains menekankan pada pengalaman secara langsung. Ilmu sains dipahami sebagai satu cabang ilmu yang mengkaji sekumpulan pernyataan atau fakta-fakta dengan cara yang sistematik, terstruktur, dan serasi dengan hukum-hukum umum yang melandasi peradaban dunia modern. Sains dapat pula dipahami sebagai satu proses untuk mencari dan menemukan sesuatu kebenaran melalui ilmu pengetahuan dengan cara memahami hakekat makhluk untuk menjelaskan hukum-hukum alam. Sains memberi penekanan kepada sumbangan pemikiran manusia dalam menguasai ilmu pengetahuan. Proses mencari kebenaran dengan jalan mencari jawaban kepada persoalan-persoalan secara sistematik umumnya disebut sebagai pendekatan saintifik, dan pendekatan tersebut menjadi landasan perkembangan teknologi yang menjadi salah satu unsur terpenting peradaban manusia. Sains sangatlah penting untuk menunjang perkembangan dan kemajuan hidup manusia di muka bumi.

Struktur sains sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan merupakan sebuah aktivitas intelektual. Pada umumnya para ilmuan sepekat bahwa sains secara struktural dibagi menjadi empat komponen dasar yaitu:

Pertama, adalah pokok bahasan yang dirumuskan dengan baik atau objek kajian yang berhubungan dengan himpunan pengetahuan akumulatif baik itu dalam bentuk konsep, data, teori, hukum, maupun hubungan-hubungan logis yang ada di antara semuanya. Himpunan pengetahuan tersebut merupakan kandungan utama sebuah sains.

Kedua, sains terdiri dari berbagai asumsi-asumsi dasar yang berlaku sebagai pondasi epistemologis dari sains yang bersangkutan. Asumsi-asumsi dasar yang dimaksud berkaitan dengan sifat dan hakikat objek kajian serta status ontologisnya. Seluruh kebenarannya telah diasumsikan dalam sains tersebut, tetapi kemungkinan juga telah ditetapkan dalam sains lain yang lebih fundamental dan komprehensif.

Ketiga, sains berkaitan dengan metode-metode kajian yang digunakan dalam sains tersebut. Para sarjana dan ilmuan pada umumnya didasarkan pada prinsip bahwa metode kajian bervariasi sesuai dengan sifat dan objek kajiannya masing-masing. Dengan demikian tidak ada satu metode tunggal yang sama yang digunakan untuk semua sains.

Keempat, sains berkaitan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh sains tersebut. Secara umum, tujuan utama sebuah sains adalah untuk menemukan aspek realitas yang berkaitan dengan berbagai objek kajiannya. Dengan maksud memperoleh pengetahuan yang sempurna tentang domain realitas dengan keyakinan dan kepastian ilmiah yang dalam Islam disebut dengan istilah ‘ilm al-yaqin.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan dan penerapan sains atau ilmu pengetahuan dan teknologi sepenuhnya adalah aktifitas dan kerja akal. Namun demikian dalam Islam, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi harus disertai dengan nilai-nilai akhlak, moral dan etika Islam. Dan yang mampu menetapkan nilai akhlak, menimbang baik buruk, kepantasan dan ketidakpantasan dalam penerapan sains adalah hati manusia. Karena itu dapat dikatakan bahwa masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi/sains hanya dapat dilakukan oleh makhluk Allah yang memiliki kesempurnaan hati dan akal, dan itu hanya dimiliki oleh manusia.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kata ‘aql (akal) terulang sebanyak 49 kali, dan 48 di antaranya dalam bentuk fi’il mudhari’, seperti bentuk kata ta’qilun yang terulang sebanyak 24 kali, atau bentuk kata ya’qilun yang terulang sebanyak 22 kali. Term ta’qilun yang disebutkan berulang-ulang tersebut berkaitan dengan ayat-ayat yang Allah jelaskan dan harus dipikirkan, baik ayat qauliyah (tertulis) maupun ayat kauniyah (tidak tertulis). Firman Allah “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.” “Sungguh Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami jika kamu memahaminya.”Juga firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran Kami supaya kamu memikirkannya.”

Menurut al-Qardhawi, kemungkinan yang dimaksud dalam firman Allah di atas adalah ayat-ayat kauniyah, yaitu manusia diperintahkan untuk memikirkan dan memahami segala ciptaan Allah yang terhampar antara langit dan bumi agar tercipta ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat digunakan untuk kemanfaatan hidup manusia di bumi. Adapun alasan al-Qardhawi adalah karena ayat-ayat tersebut datang setelah firman Allah “Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya…”Demikian pula firman-Nya “Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”Allah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa mereka agar mereka dapat meresapi maknanya dengan hati mereka, memikirkan dan merenungkannya.

Dalam al-Qur’an, istilah fu’ad (hati) sesekali disebutkan secara bersamaan dengan bagian-bagian indera manusia yang mana dengannya dapat diperoleh ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Karena ia termasuk dalam salah satu dari tiga perangkat pokok ilmu pengetahuan, yaitu penglihatan. Pendengaran, dan fu’ad (hati). Bentuk-bemtuk penggabungan kata pendengaran, penglihatan, dan hati disebut dalam al-Qur’an dalam beberapa surat. Misalnya firman Allah dalam surat al-Isra’ (17): 36 menyebutkan:

 ُ ْوال ُ ِ َك َك َ ان َعْنهُ َمسئ ُولئ ُ َؤ َاد ُك ُّ ل أ ْغ َ َص َر َو ال ْب ِ َّ ن َّ الس ْم َع َوال ٌم. إ ْ ِ ِه ِعل َ َك ب َ ْي َس ل ْ ُف َما ل َ تَق َوال

“Dan janganlah kamu mengkiuti apa yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Sering juga Allah menggunakan kata qalb (hati) sebagai ganti kata fu’ad dalam beberapa tempat dalam al-Qur’an. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 7 berikut:

 َ ُهْم َع َذ ٌ اب َع ِظْيٍم ٌ َول اوة ْب َص ِار ِه ْم ِغ َش َ َ َى أ َى َس ْمِعِهْم َو َعل ِ ِهْم َو َعل ْوي ُ ُل َى ق ُ َعل َ هللا َختَم

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.

Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” Pada ayat yang lain dalam surat al-An’am (6): 46:

 ِ ِه ِ ْي ُكْم ب ت ْ َأ ِلهٌ َغْي ُر ِهللا ي ِ ُكْم َم ْن إ ْوب ُ ُل َى ق َ َعل ْب َص َار ُكْم َو َختَم َ َ ُكْم َوأ ُ َس ْمع َ َخ َذ هللا ِ ْن أ ُ ْم إ َرئَْيت َ ُ ْل أ ق

“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?”

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa karena manusia dianugerahi potensi-potensi yang lengkap seperti panca indera, akal, dan hati, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tanggung jawab manusia. Hal ini dapat dipahami dari berbagai ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya, seperti akal, hati, dan seluruh panca indera yang dianugerahkan kepadanya, dan potensi-potensi tersebut pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Yasin (36): 65: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kmi tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”

D. Keadaan Iptek Islam Masa Kini

Menurut Nurcholis Madjid, pada saat ini dunia Islam beserta wilayahnya merupakan Kawasan bumi yang paling terbelakang dalam masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah non Islam seperti Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, Israel, serta Asia Timur seperti Jepang, Korea dan Singapura di Asia Tenggara. Ia meyakini bahwa tidak ada satupun agama besar di dunia ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya daripada Islam. Sejak abad ke-16 ilmu pengetahuan bangsa-bangsa Barat sudah lebih unggul daripada ilmu pengetahuan kaum muslimin. Dalam keadaan terus merosot dan mundur, kaum muslimin sudah tidak lagi mempu mengejar dan menandingi, apalagi mengungguli bangsa Barat, hingga kolonisasi bangsa Barat melanda dunia Islam. Dalam keadaan terjajah hingga kemerdekaan pada masa sekarang, umat Islam masih belum mampu menandingi Barat dalam masalah perkembangan teknologi. Hal ini karena umat Islam sekarang ini tidak mampu menangkap kembali ajaran agamanya secara lebih dinamis dan lebih otentik sebagaimana yang diserukan oleh para pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh, seperti yang tercermin dalam sejarah umat Islam pada masa klasik.

Sejarah menyebutkan bahwa di antara negara-negara Islam, Turki dan Mesir dapat dikatakan sebagai negara pertama yang menyadari akan kemunduran dan kelemahan umat Islam ketika Barat tampil dengan kemajuan dan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Pada saat itulah para pemimpin Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mencari jalan guna mengembalikan balance of power yang tidak seimbang antara dunia Barat dan dunia Islam dan sangat membahayakan Islam. Kontak antara Islam dan Barat pada saat ini berbeda sekali dengan kontak Barat dan Islam pada masa klasik. Pada saat itu Islam sedang berada pada masa keemasan sedangkan Barat berada dalam kegelapan dan ketertinggalan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun sekarang ini yang terjadi adalah sebaliknya, dunia Islam yang harus belajar kepada Barat. Para pemimpin Islam berupaya keras agar umat Islam kembali dapat meraih kejayaannya seperti yang telah mereka peroleh pada masa lalu. Berbagai usaha ke arah itu mulai dijalankan di kalangan umat Islam, seiring dengan semakin sempurnanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai dunia Barat.

Di Mesir misalnya, upaya pembaharuan Islam telah dimulai sejak abad ke-19 dengan lahirnya tokoh-tokoh pembaharu seperti Rifa’ah al-Thahthawi (1801-1873 M) yang menjadi redaktur surat kabar alWaqa’i al-Misriyah, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Rashid Ridha (1865-1935 M). Gagasan pembaharuan mereka tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam sehingga mampu membangunkan kesadaran di kalangan kaum muslimin terpelajar untuk menyambut seruan pembaharuan tersebut. Di Indonesia, lahirnya organisasi Muhammadiyah misalnya, tidak luput dari interaksi pendiri Muhammadiyah dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharu tersebut, terutama pengaruh Tafsir al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang mana spiritnya mampu menjadi semangat Gerakan pembaharuan Islam di nusantara.

Namun demikian, semangat pembaharuan di dunia Islam tersebut hingga saat ini belum memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam. Hal ini menurut Nurcholis Madjid disebabkan karena umat Islam dan para ulama gagal melihat hubungan organik antara sains dan iman dalam Islam. Adapun kegagalan tersebut karena sudah sedemikian lama dan mendalamnya umat Islam dan para ulama merasa asing, memusuhi, dan tidak menghargai pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Di antara para cendikiawan Islam ada yang melimpahkan kesalahan ini pada sosok al-Ghazali yang telah “membunuh” perkembangan kefilsafatan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Meskipun pandangan ini jelas masih dapat diperdebatkan, namun dapat pula diterima karena kenyataannya pada abad ke-12 sekitar tampilnya al-Ghazali, ilmu pengetahuan Islam mulai berpindah ke dunia Barat. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran al-Ghazali menjadi sebab tidak tertariknya umat Islam pada ilmu pengetahuan dalam arti sains dan teknologi.

Turki dapat dikatakan sebagai negara Islam pertama yang menyadari pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, meskipun dalam lingkup yang sangat terbatas, yaitu atas dasar pertimbangan praktis-pragmatis semata. Turki yang mengadopsi teknologi Barat menunjukkan bahwa mereka menghendaki teknologi Barat tanpa etos ilmiahnya, artinya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan nyata yang sifatnya jangka pendek seperti kepentingan untuk membangun kekuatan militer dan industri mereka. Akibatnya, umat Islam sementara ini haya menjadi konsumen akhir dari produk-produk bangsa Barat. Sebenarnya tidak salah menjadi konsumen dan pengguna akhir, tetapi jika tidak segera dilakukan upaya untuk memajukan etos ke arah yang lebih produktif, maka umat Islam akan menjadi umat yang bergantung kepada bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.

Meskipun al-Qur’an telah secara jelas menunjukkan adanya hubungan organik antara iman dan ilmu pengetahuan, namun sungguh telah terjadi ketidakwajaran pada pandangan kaum muslimin saat ini tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak umat Islam yang sampai saat ini masih bersikap sempit terhadap upaya pengembangan iptek. Sikap ini dalam bahasa Nurcholis Madjid disebut dengan istilah parokialistik, yaitu sikap menolak sesuatu yang tidak berasal dari kalangan sendiri dengan sangkaan bahwa apa saja yang berasal dari kalangan atau bangsa lain adalah salah, dan yang benar adalah apa yang berasal dari kalangan sendiri. Sikap seperti ini jika diaplikasikan kepada iptek, maka tidak hanya bertentangan dengan semangat kosmopolitanisme dan universalisme yang diajarkan Nabi saw, tetap juga bertentangan dengan al-Qur’an yang jelas-jelas memyerukan manusia untuk mengembangkan iptek. Meskipun demikian harus dikatakan bahwa tidak seluruh umat Islam terjangkit sikap parokialistik tersebut, hanya sebagian kalangan muslim saja yang sangat keras menolak segala hal yang berbau Barat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Maka tidak diragukan lagi bahwa disamping fanatisme, sikap parokialistik akan menghalangi kaum muslimin untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam bidang iptek. Namun demikian, jika umat Islam sekarang mundur atau ketinggalan, maka disamping harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan tersebut, kita harus yakin bahwa potensi tetap hidup umtuk umat Islam sekali lagi maju ke depan menjadi pemimpin umat manusia dan mengulangi peranannya sebagai pembawa kebaikan bagi seluruh alam semesta. Elemen-elemen ilmu pengetahuan yang dinamis dan kreatif yang dahulu menggerakkan umat Islam Arab hingga kini masih tetap hidup dan bertahan, hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimunculkan kembali secara kreatif. Dalam kondisi dimana kita tertinggal jauh dari bangsa-bangsa non muslim tersebut, bukan tidak mungkin kondisi yang akan memaksa kaum yang menolak teknologi tersebut untuk mengesampingkan sikap parokialistiknya demi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dan kemanfaatan nyata bagi kemakmuran negaranya. Hal ini pernah terjadi, misalnya teknologi industri diimpor besar-besaran daari Barat ke negara-negara Teluk untuk keperluan pembangunan industri. Juga didirikannya Petrolium College di Arab Saudi yang mana sebagian besar dosennya adalah para professor dari Barat yang menguasai ilmu teknologi modern.

Di Indonesia, ketertinggalan umat Islam dalam masalah iptek juga disadari oleh para ilmuwan dan pakar-pakar mendidikan hingga akhirnya banyak institute agama Islam yang dirubah menjadi Universitas Negeri dengan tujuan agar tercipta koneksitas antara ilmu-ilmu agam dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Di antara pengagasnya adalah Prof. Amin Abdullah yang membangun apa yang disebutnya sebagai paradigma Interkoneksi-Integrasi. Yaitu suatu paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyah, ilmu kauniyah, dan ilmu falsafah dapat terintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain. Dengan demikian pengkajian terhadap Islam dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan terintegrasi sehingga dapat menciptakan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami dan modern yang dapat menandingi kemajuan iptek negara-negara Barat saat ini.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh ilmuwan dalam mengembangkan iptek menurut alQur’an.

E. Rambu-Rambu Pengembangan Iptek Menurut al-Qur’an

1. Pengembangan iptek harus berujung pada keimanan kepada Allah

Iman dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Adapun tanda-tanda adanya iman adalah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman tersebut. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa iman itu terkait erat dengan amal. Amal praktis merupakan tuntutan langsung dari iman yang spiritual. Karena itu tidak ada iman tanpa amal, dan sebaliknya, tidak berguna amal tanpa iman. Keimanan mengantarkan manusia untuk menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk tunduk dan patuh, serta ridha kepada dzat yang diimaninya. Adanya iman di dalam hati menyebabkan manusia memiliki rasa takut kepada Allah, takut melakukan kesalahan yang menyebabkan Allah murka kepadanya, takut dengan ancaman-ancaman yang disebutkan dalam kitab Allah, dan takut mendurhakai Allah sebagai Tuhan manusia dan alam semesta.

Namun demikian rasa takut kepada Allah tersebut tidak lantas muncul dari dalam hati manusia tanpa adanya pengetahuan tentang Allah dan Kemahakuasaannya. Rasa takut kepada Allah akan mucul apabila manusia memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang ditakuti, entah itu tentang kekuatan-Nya, kekuasaan-Nya, maupun kehendak-Nya. Di dalam al-Qur’an surat Fathir (35): 28 Allah berfirman “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Redaksi ayat tersebut jelas membatasi bahwa orang-orang yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu, yaitu mereka yang mengetahui keagungan-Nya dan memuliakan-Nya dengan semestinya.

Karena itulah Allah membedakan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu dalam firman-Nya dalam surat al-Zumar (39): 9 berikut ini “…Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” pada ayat tersebut Allah membedakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu. Terlepas dari substansi ilmu pengetahuan, yang jelas antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu tidaklah sama dalam memahami ayat-ayat Allah baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Orang yang berilmu memiliki peluang lebih besar untuk sampai kepada keimanan dan ketaqwaan daripada orang yang tidak berilmu. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu akan sulit mencapai kepada keimanan yang benar jika dihadapkan pada kdua ayat Allah, yaitu ayat qauliyah dan ayat kauniyah.

Jadi, pengembangan iptek yang benar menurut al-Qur’an adalah pengembangan iptek yang membuat pemiliknya – ilmuwan atau ulama di bidang teknologi – semakin beriman dan bertaqwa kepada Allah karena penemuan-penemuan yang ia raih dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena pengetahuan yang diperoleh dari meneliti, menelaah dan mengkaji ayat-ayat Allah akan menghasilkan keimanan yang kokoh kepada-Nya. Dengan adanya keimanan dalam pengembangan iptek, maka seorang ilmuwan akan berusaha sekuat kemampuannya untuk memelihara diri dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan syariah Islam, menggunakan teknologi yang dikuasai untuk kemanfaatan kehidupan, dan juga untuk mencegah kerusakan di muka bumi.

Apabila pengembangan iptek dilakukan dan menghasilkan keimanan yang semakin kuat kepada Allah, maka sampailah sang ilmuwan kepada kemuliaan yang haqiqi. Allah memuji dan memuliakan orang-orang yang berilmu dimana dengan ilmunya tersebut ia menjadi orang yang semakin kuat imannya kepada Allah, semakin baik akhlaknya sehingga dapat diandalkan untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Mengenai hal ini Allah berfirman tentang kemuliaan ahli ilmu tersebut dalam surat Ali Imran (3): 18 berikut “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang menegakkan keadilan, para malaikat, dan orang-orang yang berilmu. Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Imam al-Ghazali berkata, “Lihatlah, Allah memulai dengan diri-Nya, kemudian malaikat, dan ahli ilmu pengetahuan.

2. Pengembangan iptek harus didasari akhlak yang mulia

Seorang muslim diwajibkan mencari ilmu pengetahuan – baik ilmu agama maupun ilmu sains – untuk kebutuhan hidupnya selama hidup di dunia. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyaknya perintah Allah dalam al-Quran – baik secara langsung maupun tidak langsung – kepada manusia untuk berpikir, merenung, menalar, dan lain sebagainya. Banyak sekali seruan dalam al-Qur’an kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan atau gugatan, atau perintah supaya ia berpikir, merenung, dan menalar.

Tetapi perintah tersebut tidak berhenti sampai disini, karena ilmu pengetahuan yang wajib dimiliki seorang yang berilmu tidak berarti apapun tanpa adanya amal sholeh dan kesempurnaan akhlak.Menurut al-Qardhawi, ilmu yang tidak menghasilkan ketaqwaan – dalam arti memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya – dan rasa takut kepada Allah adalah ilmu yang tidak ada nilainya. Karena rusaknya kehidupan disebabkan oleh rusaknya akal dan moral manusia. Oleh karena itu al-Qur’an mengecam keras terhadap orang-orang yang mengkhianati ilmunya, misalnya dengan cara menukarkan kejujuran ilmiah dengan kesenangan duniawi, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, serta menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui.

Mengenai hal ini Allah berfirman dalam surat Ali Imran (3): 187 berikut ini, “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab, “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” Demikian pula tentang orang yang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi ia tidak berbuat sesuai dengan tuntutan ilmunya, tetapi justru menggunakan ilmunya hanya untuk memperturutkan hawa nafsunya, Allah mengecamnya dengan memberikan perumpamaan seperti firman-Nya dalam surat al-Jumuah (62): 5 “…seperti keledai yang membawa kitab-kitab..” Oleh sebab itu para ulama Islam sangat menekankan aspek akhlak bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Keluasan dan kepakaran seseorang dalam suatu ilmu pengetahuan tertentu tidaklah cukup tanpa dihiasi dengan ketaqwaan dan akhlak yang mulia.

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah milik Allah, dikaruniakan kepada siapapun yang dikehendakinya. Karena itu tidaklah pantas manusia menyombongkan diri dengan sesuatu yang sebenarnya bukan miliknya sendiri. Islam melancarkan perang terhadap orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah mewahyukan agar kalian saling merendahkan hati sehingga seseorang tidak bersikap angkuh dan sombong terhadap yang lain, serta tidak menzaliminya.” Dalam hadis lainnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia. Hal ini diungkapkan dalam hadis yang artinya, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong meskipun haya sebesar atom. Ada seorang laki-laki berkata, “Sesungguhnya seseorang itu suka memakai pakaian yang bagus dan sepatu yang bagus pula.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia.”

Di antara bentuk akhlak yang mulia dalam pengembangan iptek adalah kemauan untuk mengakui dan menarik suatu pendapat ilmiah apabila jelas terbukti kesalahannya. Kembali kepada kebenaran adalah lebih baik daripada bersikukuh dalam kebatilan. Seorang ilmuwan akan berdosa jika telah mengetahui kesalahan, tetapi ia terus saja bersikukuh padanya karena keras kepala dan sombong, atau karena malu kepada orang lain, padahal Allah lebih menyukai kebenaran. Begitulah banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki, berbagai kecakapan yang dikuasai, serta jabatan yang direngkuh harus dihiasi dengan ketulusan ibadah kepada Allah dan keyakinan akan karunia-Nya yang besar. Dialah Sang Pemberi haqiqi segala kebaikan, Dia pula Pemilik puji dan karunia.

3. Pengembangan iptek harus sesuai dengan prinsip kemaslahatan dalam syariah Islam

Prinsip secara terminologis adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran – baik umum maupun individual – yang dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh dari suatu perkembangan atau perubahan, dan sekaligus merupakan akumulasi dari pengalaman maupun pemaknaan oleh sebuah objek atau subjek tertentu. Sedangkan kata syari’ah berasal dari kata kerja syara’a yang artinya “mengarahkan atau membuka”. Makna yang lain dari kata tersebut adalah “menandai” atau “menggambar”. Selain itu ia juga dapat diartikan sebagai “jalan yang jelas menuju sumber air”. Pengertian yang terakhir ini hingga kini masih lazim digunakan oleh orang-orang Arab. Dalam pemakaiannya dalam konteks agama ia memiliki makna “jalan kehidupan yang baik”, yakni nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam arti yang lebih konkrit, dimaksudkan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Dalam maknanya yang lebih universal, syari’ah tidak sekedar konsep yang praktis yang biasanya berhubungan dengan pribasi semata, melainkan menyangkut seluruh tingkah laku, baik yang berkenaan dengan keyakinan maupun praktik.

Apabila dua kata tersebut digabungkan menjadi sebuah kalimat, yakni “Prinsip-Prinsip Syariah” maka yang dimaksud adalah kebenaran yang sangat mendasar yang dipergunakan sebagai tumpuan atau landasan berpikir dan berpendapat, terutama dalam kaitannya dengan penegakan dan pelaksanaan hukum yang bersumber dari syariah Islam. Prinsip-prinsip syariah berasal dari sumber hukum Islam, yaitu al Qur’an dan Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Prinsip-prinsip syariah secara garis besar mencakup prinsip-prinsip umum syariah dan prinsip-prinsip khusus yang ruang lingkupnya hanya terbatas pada satu bidang hukum tertentu. Di antara prinsip syariah secara umum adalah terwujudnya kemaslahatan.

Secara umum, tujuan yang hendak dicapai dari ajaran syari’at Islam adalah المفاصد دفع و المصالح جلب) menghasilkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Menurut Izz al-Dȋn Abd al-Salȃm, secara bahasa kata “maslahah” memiliki makna yang sama dengan kata “manfaat”. Dalam bahasa Arab, kata (مصلحة (adalah masdar dari kata (صلح (yang artinya “(membuat) kebaikan. ”Seperti kata (منفعة (yang merupakan masdar dari kata (نفع (yang artinya “(memberi) kemanfaatan”. arȋ’ah, yang mencakup pemeliharaan agama (hifz aldȋn), kehidupan (hifz al-nafs), nasab (hifz al-nasab), akal (hifz al-aql), dan harta (hifz al-mȃl), baik pada level dharûriyyah, hȃjiyyah maupun tahsȋniyyah. Kelima eksistensi tersebut disebut sebagai al-ushûl al-khamsah.Karena itu, semua perbuatan yang ditujukan untuk memelihara al-ushûl al-khamsah dinamakan sebagai maslahah, dan semua perbuatan yang menyebabkan rusaknya dan bahkan hilangnya eksistensi al-ushûl al-khamsah disebut sebagai mafsadah. Sehingga mencegah terjadinya mafsadah berarti melakukan maslahah, karena perbuatan tersebut dapat menghasilkan maslahah.

Secara umum para ulama ushul fiqh mengelompokkan maslahah menjadi dua bentuk, yaitu: Pertama, maslahah uhkrawi yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah. Kedua, maslahah duniawi yang berkaitan dengan masalah muamalah. Meskipun demikian pengelompokan tersebut oleh sebagian ulama dianggap kurang tepat karena dalam setiap perbuatan manusia selalu terkait dengan keduanya, yaitu usaha untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhirat. Selain itu, baik masalah aqidah, ibadah, maupun muamalah selalu mendatangkan dampak di dunia lebih-lebih di akhirat. Misalnya seorang muslim yang berpegang teguh dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah dalam masalah muamalah, ia akan mendapatkan kemaslahatan di dunia sekaligus di akhirat.

Terkait dengan pengembangan iptek, maka pengembangan tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan hidup manusia dan tidak boleh bertentangan dengannya. Pengembangan teknologi kedokteran yang berguna untuk menyelamatkan banyak orang dari kematian baik karena penyakit maupun karena kecelakaan misalnya, haruslah didukung dan dimaksimalkan. Sebaliknya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah kepada kemudharatan kehidupan manusia dan makhluk hidup di muka bumi harus dilarang. Misalnya adanya teknologi persilangan antara manusia dan anjing, teknologi seperti ini disamping tidak bermanfaat juga akan merusak tatanan kehidupan di masyarakat. Adapun pengembangan teknologi yang di satu sisi mengandung kemaslahatan, tetapi di sisi lain mengandung kemudharatan, maka pengembangan maupun penggunaannya harus dibatasi dengan berbagai persyaratan dan peraturan yang harus dipatuhi. Misalnya pengembangan dan penggunaan teknologi nuklir, jika dimanfaatkan sebagai sumber energi yang bermanfaat bagi manusia maka diperbolehkan, tetapi jika dgunakan untuk senjata pemusnah massal maka harus dilarang karena berbahaya bagi banyak kehidupan di muka bumi.

RANGKUMAN

Dalam Islam, manusia diciptakan dan dilahirkan ke muka bumi ini dengan mengemban dua tanggung jawab besar yang harus ditunaikannya selama masa hidupnya di dunia ini. Kedua tugas tersebut apabila dilaksanakan dengan baik maka akan menjadi sebab kebahagiaannya pada kehidupan berikutnya, dan sebaliknya, apabila kedua tugas tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menjadi sebab kesengsaraannya pada kehidupan berikutnya di akhirat nanti. Kedua tugas tersebut sekaligus adalah tujuan diciptakannya manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah, dan sebagai khalifah di muka bumi.

Potensi manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Dari klasifikasi yang dikemukakan di atas, beberapa ahli filsafat pendidikan menguraikan potensi rohani manusia secara lebih terperinci ke dalam beberapa bagian, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa potensi rohani manusia itu terdiri dari empat unsur pokok, yaitu roh, qalb, nafs, dan akal. Sebagian pendapat membagi potensi rohani manusia menjadi tiga bagian, yaitu potensi fitrah, qolb, dan akal. Hamka memasukkan fitrah manusia sebagai potensi yang paling penting yang diberikan Allah kepada manusia. Kata “fitrah” dimaknai sebagai rasa asli murni yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, yaitu jiwa yang mengakui adanya Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi di alam raya ini. Fitrah tumbuh bersama akal, bahkan Hamka mengatakan bahwa fitrah-lah yang menumbuhsuburkan akal di dalam diri manusia. Penafsirannya tentang kata “fitrah” memperlihatkan bahwa ia berpikir kontekstual sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi. Dalam konteks ilmu pengetahuan, fitrah manusia dimaknai sebagai potensi atau kemampuan dasar yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktifitas dengan alat – yang disebutnya sebagai ghazirah, yaitu hati (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-’aql) – yang menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Karena manusia dianugerahi potensi-potensi yang lengkap seperti panca indera, akal, dan hati, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tanggung jawab manusia. Hal ini dapat dipahami dari berbagai ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya, seperti akal, hati, dan seluruh panca indera yang dianugerahkan kepadanya, dan potensi-potensi tersebut pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya.

Pada saat ini dunia Islam beserta wilayahnya merupakan Kawasan bumi yang paling terbelakang dalam masalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah non Islam seperti Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, Israel, serta Asia Timur seperti Jepang, Korea dan Siapura di Asia Tenggara. Hal ini karena umat Islam sekarang ini tidak mampu menangkap kembali ajaran agamanya secara lebih dinamis dan lebih otentik sebagaimana yang diserukan pleh para pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh, seperti yang tercermin dalam sejarah umat Islam pada masa klasik.

Banyak umat Islam yang sampai saat ini masih bersikap sempit terhadap upaya pengembangan iptek. Sikap ini dalam bahasa Nurcholis Madjid disebut dengan istilah parokialistik, yaitu sikap menolak sesuatu yang tidak berasal dari kalangan sendiri dengan sangkaan bahwa apa saja yang berasal dari kalangan atau bangsa lain adalah salah, dan yang benar adalah apa yang berasal dari kalangan sendiri. Sikap parokialistik menghalangi kaum muslimin untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam bidang iptek. Namun demikian, jika umat Islam sekarang mundur atau ketinggalan, maka disamping harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan tersebut, kita harus yakin bahwa potensi tetap hidup umtuk umat Islam sekali lagi maju ke depan menjadi pemimpin umat manusia dan mengulangi peranannya sebagai pembawa kebaikan bagi seluruh alam semesta. Elemen-elemen ilmu pengetahuan yang dinamis dan kreatif yang dahulu menggerakkan umat Islam Arab hingga kini masih tetap hidup dan bertahan, hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimunculkan kembali secara kreatif.

Di antara rambu-rambu pengembangan iptek yang benar menurut al-Qur’an adalah pengembangan iptek yang membuat pemiliknya – ilmuwan atau ulama di bidang teknologi – semakin beriman dan bertaqwa kepada Allah karena penemuan-penemuan yang ia raih dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena pengetahuan yang diperoleh dari meneliti, menelaah dan mengkaji ayat-ayat Allah akan menghasilkan keimanan yang kokoh kepada-Nya. Dengan adanya keimanan dalam pengembangan iptek, maka seorang ilmuwan akan berusaha sekuat kemampuannya untuk memelihara diri dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan syariah Islam, menggunakan teknologi yang dikuasai untuk kemanfaatan kehidupan, dan juga untuk mencegah kerusakan di muka bumi. Selain itu pengembangan iptek juga harus disertai dengan terpeliharanya akhlak yang mulia, serta pengembangan dan penggunaannya harus sesuai dengan kemaslahatan manusia dan alam.

LATIHAN

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1. Jelaskan Potensi Manusia Dalam Pengembangan Iptek?

2. Sebutkan tugas yang sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia.

3. Bagaimana Konsep Islam Tentang Tujuan Penciptaan Manusia?

4. Menurut Hamka, pada diri setiap manusia terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi. Ketiga unsur utama tersebut adalah ……….

5. Bagaimana Rambu-Rambu Pengembangan Iptek Menurut alQur’an?

6. Struktur sains sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan merupakan sebuah aktivitas intelektual. Pada umumnya para ilmuan sepekat bahwa sains secara struktural dibagi menjadi empat komponen dasar, sebutkan.

7. Mengapa dalam pengembangan Ipteks harus memperhatikan aspek kemanusian?

8. Mengapa pengembangan iptek harus berujung pada keimanan kepada Allah.

9. Tuiskan terjemahan surat al-Zumar (39) ayat 9

10. Tuliskan terjemahan surat Ali Imran (3) ayat 187

PETUNJUK JAWABAN LATIHAN

Untuk menjawab pertanyaan no. 1 –4 silahkan dibaca kembali materi di atas

..

TES FORMATIF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling benar!

1. Jelaskan tujuan diciptakan manusia oleh Allah?

a. Menjadi Kholifah di bumi

b. Mencari harta

c. Mnecari Jabatan

2. Beribadah kepada Allah adalah?

a. Tujuan diciptkan manusia

b. Fungsi diciptkan manusia

c. Keunggulan manusia

3. Pengembangan Ipteks harus mengacu pada?

a. Kemashlahatan manusia

b. Kemadhorotan manusia

c. Kemegahan manusia

4. Jelaskan potensi dasar yang di miliki oleh Manusia?

a. Jiwa dan fisik

b. Ilmu dan harta

c. Ilmu dan Jabatan

5. Apa yang membedakan manusia dengan makhluq lainya?

a. Akal dan hati

b. Instink dan jiwa

c. Raga dan jiwa

Cocokkan jawaban anda dengan kunci jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat pada bagian akhir modul ini.

KUNCI JAWABAN TER FORMATIF

TES FORMATIF 1

1. a. Beribadah kepada Allah 2. b. Khalifah 3. c. Hati, jasad, dan akal 4. b. Fitrah 5. a. Ilmu sains 6. c. Qalb 7. c. 49 kali 8. a. Surat al-Isra’ (17): 36 9. b. Qalb 10. c. Manusia

TES FORMATIF 2

1. a. Kemunduran Islam di bidang iptek 2. c. Mesir 3. b. Imam al-Ghazali 4. c. Parokialistik 5. b. Amin Abdullah 6. a. Iman 7. b. Ulama 8. a. Manfaat 9. c. Surat Ali Imran (3): 187 10. a. Membatasi pengembangannya

TES FORMATIF 3

A Menjadi Kholifah di bumi A Tujuan diciptkan manusia A Kemashlahatan manusia A Jiwa dan fisik A Akal dan hati

..

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazȃlȋ, Abu Hamid, Al-Mustasfa min ‘ilmi al-ushûl, juz 2, Beirut: Dȃr al-Kitȃb al-Ilmiyyah, t.th. Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Fatwa Baina Indhibat wa al-Tasayyub, Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1997.

……………………. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Al-Salȃm, Izz al-Dȋn ibn Abd, Qawȃ’id al-Ahkȃm Fȋ Masȃlih al-Anȃm, Kairo: Dȃr al-Qalam, 1400 H. Bakar, Osman. Tawhid and Science; Islamic Perspectives on Religion and Science, diterjemahkan Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 17, Jakarta: Panjimas, 1998.

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995.

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.

Madjid, Nurcholis. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina Press, 2009.

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Tri Genda Karya, 1993.

Nashir, Haidar. Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Novita, Mona. “Sumber Daya Manusia yang Berkualitas Sebagai Harta yang Berharga Dalam Sebuah Lembaga Pendidikan Islam”, Jurnal Nur El-Islam,Volume 4, Nomor 1, April 2017.

Rahman, Fazlur. Al-Islam, Bandung: Pustaka, 1984.

Ridha, Muhammad Rasyid, Al-Mannar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth. Sholeh, Hasan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Syamsudin, Muhammad. Manusia dalam Pandangan Basyir, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997. Zaini, Syahminan. Penyakit Rohani Pengobatannya, Jakarta: Kalam Mulia, 1996.

Al-Biqa’i, Ibrahim Umar, Nazm al-Dhurar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 4, Beirut: ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995. Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidz min al-Dhalal, Kairo: Anglo al-Misriyah, 1964 M.

Al-Ghazali, Muhammad, Al-Mahawir al-Khamsah li al-Qur’an alKarim, Kairo: Dar al-Shahwah, 1409 H.

Al-Qardhawi, Yusuf Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Geman Insani Press, 1998. Al-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

Darwin, Charles, The Origin of Species by Means of Natural Selection, London: John Murray, 1959.

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.

…………………… Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina Press, 2009. Razak, Nasrudin. Dienul Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1973.

Shihab, Quraish, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007.

………………… Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.

Sudarmojo, Agus Haryo, Menyibak Rahasia Sains Bumi Dalam AlQur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Pelajar, 2008.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.


Tanggapan

  1. Assalamualaikum wr.wb
    Nama : Nur intan (162001114)
    Kelas : manajemen A (semester 4)
    Prodi manajemen

    Adapun pertanyaan saya yaitu :
    jelaskan rambu-rambu pengembangan iptek yang benar menurut al-Qur’an ? Dan berikan contohnya

    Terima kasih

  2. Assalamualaikum wr.wb
    Nama : Nur intan (162001114)
    Kelas : manajemen A (semester 4)
    Prodi manajemen

    Adapun pertanyaan saya yaitu :
    jelaskan potensi manusia (jasmani dan rohani) dalam pengembangan IPTEK ?

  3. Nama : Doyalin Dega
    Nim : 082001064
    Kelas : B
    Ilmu Hukum

    Bagaimana pandangan Islam terhadap IPTEK serta dapatkah Islam berjalan beriringan dengan IPTEK?

    • Khalifah secara bahasa/etimologi belum terlalu tajam dibahas di artikel ini pak ketua. Khalifah itu bermakna yg hadir belakangan. Dia menjadi makhluk terakhir yg diciptakan Allah sebagai penyempurna dari makhluk makhluk sebelumnya yg sempat dihawatirkan diragukan oleh malaikat akan penciptaannya. ketika Allah hendak menciptakan manusia sebagai Khalifah (berasal dari akar kata khalafaa-yakhlufu), malaikat sempat protes dan ragu. Jangan sampai manusia ini sama dengan makhluk makhluk sebelumnya yg akan menumpahkan darah. Allah membantah prediksi malaikat, karena Allah telah menganugerahkan manusia akal, sehingga mereka pantas menjadi Khalifah/pemimpin yg melestarikan alam semesta.


Tinggalkan komentar

Kategori