Oleh: subair | April 27, 2024

Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai Serta Urgensi Akhlak Islam Dalam Penerapan IPTEK

1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai

Ilmu merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan yang sangat urgen bagi manusia. Ilmu, selain sebagai sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, juga sebagai jalan untuk melaksanakan fungsi hidup manusia di muka bumi. Namun demikian, ilmu dalam perkembangan dan penerapannya, juga menjadi penyebab sekian banyak tragedi kemanusiaan yang tidak terlupakan. Misalnya penemuan tentang atom yang awalnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi kebaikan hidup manusia, justru digunakan sebagai senjata pemusnah masal yang menimbulkan jatuhnya korban yang tak terhitung jumlahnya.

Nilai dapat dikatakan sebagai tema baru dalam kajian ilmu filsafat, terutama pada aspek aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya. Kajian tentang nilai muncul pertamakali pada pertengahan abad ke19. Terkait dengan nilai ini, Plato telah membahasnya pada karya-karyanya. Ia mengatakan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir disepanjang zaman. Keindahan merupakan salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, dan cara inilah yang kemudian disebut dengan nilai. Karena itu dapat dikatakan bahwa nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan serta kekudusan suatu objek tertentu.

Menghadapi persoalan ini maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa sebenarnya ilmu dipergunakan, apakah ilmu harus dikaitkan dengan nilai-nilai moral dan mengapa? Dihadapkan pada masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak inilah para ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang hingga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan bahwa ilmu harus bebas nilai dan kelompok yang memperjuangkan bahwa ilmu tidak boleh bebas nilai. Perbedaan pendapat ini terjadi mengingat bahwa di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak dari ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu adalah manusia yang terikat kepada nilai-nilai subjektif seperti nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang turut menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.

a. Paradigma Ilmu Bebas Nilai

Paradigma ilmu bebas nilai (value free) menyerukan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai apapun. Bebas nilai artinya segala kegiatan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor-faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis.  Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakan pengetahuan tersebut, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat, atau malah sebaliknya dipergunakan untuk tujuan yang mudharat.

Golongan yang menganut paham ilmu tidak terikat nilai ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada masa Galileo. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetaplah sebagai objek ilmiah yang harus disamakan, baik secara teoritis maupun secara metodologis. Oleh sebab itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu tersebut merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural) atau merupakan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan faktor-faktor apapun yang menjiwainya.

Lebih jauh lagi, di antara penganut paham ini ada yang secara ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di luar dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari segi ilmiah. Dari sini dapat dipahami bahwa bebas nilai hakekatnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar keberadaannya dikembangkan dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan aspek politik, agama, moral dan etika. Ilmu harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.

Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai tersebut tidak dikenal hukum boleh dan tidak boleh, baik dan tidak baik, manfaat dan mudharat. Misalnya, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjolkan pornografi dan pornoaksi dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang bebas nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri mengesampingkan kepentingan-kepentingan ekologis karena dianggapnya akan menghambat kemajuan dan pengembangan ilmu tersebut. Contoh lain adalah sebelum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia, maka para ilmuwan di bidang kedokteran membolehkan riset dengan cara menguliti mayat manusia dan mengambil dagingnya hingga tinggal tulang-tulangnya dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam masalah seni misalnya, para seniman dibolehkan membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis, fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana, dimana hal tersebut sama sekali bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni karena menjadi bagian dari ekspresi pengembangan ilmu seni itu sendiri.

Berkaitan dengan masalah ini, Nurcholis Madjid mengatakan bahwa karena teknologi hanya berurusan dengan benda-benda mati, hal itu menimbulkan kesan bahwa teknologi merupakan bentuk ilmu yang netral atau bebas nilai. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang dianggapnya tidak bebas nilai. Menurutnya, kebiasaan dalam menganggap bahwa ilmu teknologi memiliki kepastian yang tetap sedangkan ilmu sosial tidak memiliki kepastian yang tetap menjadikan antara keduanya disebutkan dengan istilah yang berbeda – yakni ilmu sains disebutnya sebagai ilmu keras (hard science) dan ilmu sosial disebut sebagai ilmu lunak (soft science) – sehingga mengesankan bahwa berurusan dengan ilmu teknologi adalah lebih mudah daripada berurusan dengan ilmu-ilmu sosial, dan lebih tidak berbahaya karena sifatnya yang pasti sehingga memudahkan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh siapapun. Pandangan seperti ini menurut Nurcholis Madjid memang dapat dibenarkan, meskipun sesungguhnya mengandung kesalahan yang mendasar secara epistemologis. Menurutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi disebut sebagai ilmu keras (hard science) karena sifatnya yang pasti dan tidak berubah-ubah seperti sifat yang melekat pada ilmu sosial (soft science). Kajian terhadap alam kebendaan dapat menghasilkan suatu nilai kepastian yang tinggi dan valid. Hal ini karena variable yang digunakan dan harus diperhatikan untuk penyimpulan teoritisnya dapat dikatakan cukup terbatas, karenanya lebih mudah dikuasai. Adapun kajian mengenai ilmu sosial yang mana objek kajiannya adalah hidup kemasyarakatan manusia, dapat melibatkan variable yang sangat banyak, luas, serta tidak terbatas, yang mana hingga saat ini sebagian besar variabel tersebut masih belum mungkin dikenali, lebih-lebih dijadikan konsideran dalam membuat penyimpulan teoritisnya. Karena itulah kemudian ilmu sosial dikesankan sebagai suatu ilmu lunak yang tidak memiliki kepastian.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penganut paradigma ilmu bebas nilai berpendirian bahwa ilmu tidak boleh terikat dengan nilai, baik dalam proses penemuannya maupun dalam proses penerapannya, karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai

Paradigma ilmu tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu harus selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut paham kelompok ini, pengembangan dan penerapan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik kepentingan politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagainya.

Golongan yang menganut pandangan ilmu tidak bebas nilai ini berpendapat bahwa:
1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi kelimuan.
2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan semakin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan, dan
3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mangubah manusia dan kemanusiaan yang paling haqiqi seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan pada ketiga hal tersebut maka golongan pendukung ilmu tidak bebas nilai berpendapat bahwa ilmu secara moral harus dtujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakekat kemanusiaan. Lebih tegas lagi kelompok ini menyatakan bahwa tanpa adanya landasan moral maka ilmuwan akan mudah sekali tergelincir dalam melakukan tindakan-tindakan ilmiah yang semakin menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya.

Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Tokoh ini berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah dapat dipisahkan dari nilai-nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin dapat terbebas dari nilai karena dalam pengembangan setiap ilmu pengetahuan pasti selalu ada kepentingan-kepentingan teknis yang melatarbelakanginya. Dalam pandangan Habermas ilmu sendiri dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak tertentu, misalnya nilai relasional antara manusia dan alam seperti ilmu pengetahuan alam, antara manusia dan manusia seperti ilmu sosial, serta nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja tidak terlepas dari nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin dapat bekerja diluar nilai tersebut. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai digambarkan seperti tubuh tanpa ruh yang berarti tidak berguna atau tidak berfungsi apa-apa.

Terlepas dari perbedaan pandangan para ilmuwan tentang ilmu yang bebas nilai maupun ilmu yang tidak bebas nilai, dalam kerangka pandangan Islam, baik ilmu teknologi (hard science) maupun ilmu sosial (soft science) adalah sama-sama sebagai bentuk atau perwujudan dari upaya manusia untuk memahami hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah di muka bumi ini. Hanya saja berbeda objek keberlakuannya, karena jenis ilmu yang pertama berlaku pada alam kebendaan, sedangkan jenis yang kedua berlaku dalam alam sosial-kemanusiaan. Dalam Islam, upaya memahami hukum-hukum Allah tersebut merupakan perintah Allah sehingga menjadi bagian dari ajaran Islam. Adanya kenyataan bahwa ilmu teknologi lebih jelas dari pada ilmu-ilmu sosial tercermin dalam perbedaan istilah yang digunakan oleh al-Qur’an, misalnya untuk menyebutkan hukum-hukum yang berlaku pada alam kebendaan, al-Qur’an menggunakan istilah “taqdir”, sedangkan untuk menyebutkan hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan, al-Qur’an menggunakan istilah “sunnah/sunnatullah”. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa meskipun kedua jenis ilmu tersebut berbeda secara istilah, Allah sama-sama memerintahkan manusia untuk mempelajari kedua jenis ilmu tersebut agar bermanfaat bagi kehidupan manusia di muka bumi.

Sebenarnya dalam pandangan Islam jenis hukum yang kedua, yaitu hukum-hukum dalam ilmu sosial tidaklah kurang kepastiannya jika dibandingkan dengan hukum-hukum dalam ilmu teknologi atau ilmu eksakta, karena Allah sendiri yang menjamin bahwa sunnatullah tidak akan mengalami perubahan maupun pergantian. Barangkali karena variabel pada hukum-hukum ilmu sosial tersebut jauh lebih banyak dan kompleks daripada variabel pada hukum yang pertama, maka disebut sebagai “sunnah” yang artinya adalah “kebiasaan”, sehingga mengesankan seperti adanya kelenturan dalam hukum tersebut.

Menurut Nurcholis Madjid, nilai kajian antara hukum-hukum yang disebut sebagai “taqdir” dan hukum-hukum yang disebut sebagai “sunnatullah” pada dasarnya adalah sama. Karena itu untuk memperoleh hakekat serta keasliannya seorang pengkaji kedua bentuk hukum tersebut membutuhkan etos keilmuan yang juga sama, yaitu suatu etos yang tumbuh karena keyakinan serta kesadaran tentang adanya hubungan organik yang erat antara iman dan ilmu. Karena itu sikap yang semestinya dipilih dalam pengembangan serta penerapan IPTEK secara langsung berkaitan dengan sikap dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu-ilmu sosial – dalam konteks ini adalah ilmu-ilmu agama – dimana diperlukan kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi yang selalu terikat oleh kekuatan iman agar tidak terjadi kesalahan dalam menggunakannya sehingga membahayakan kehidupan umat manusia dan alam semesta.

2. Urgensi Akhlak Islam Dalam Penerapan IPTEK

Telah banyak para ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang memandang secara kritis terhadap kehadiran teknologi modern beserta dampak-dampak yang akan muncul darinya. Di antara mereka ada yang lantang memperingatkan bahwa disamping manfaat-manfaat teknologi yang tidak diragukan dalam meningkatkan kesejahteraan manusia, teknologi juga memiliki karakter yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta merusak keseimbangan ekologi lingkungan hidup di muka bumi.

Mengenai ancaman mengerikan sebagai akibat dari perkembangan IPTEK tersebut secara teoritis dapat dijelaskan bahwa suatu teknologi, khususnya teknologi modern, memiliki dinamika internalnya sendiri, akibatnya hukum-hukum perkembangannya tidak sepenuhnya tunduk kepada kehendak manusia. Pandangan tersebut oleh Nurcholis Madjid disebut sebagai determinisme teknologi. Selanjutnya, karena teknologi merupakan suatu elemen dari peradaban manusia, maka konsekwensinya determinisme teknologi dapat pula menyatu dengan determinisme sosial. Dengan meminjam teori strukturalistik yang dianut oleh kaum Marxis, perkembangan sosial terjadi menurut garis kepastian mengikuti struktur yang tersedia. Berdasarkan teori tersebut dapat dipahami bahwa suatu negara yang memiliki senjata destruksi maksimal seperti senjata pemusnah massal, secara deterministik akan cenderung tergoda untuk menggunakannya sebagai alat mengalahkan lawannya daripada memilih untuk menggunakan senjata lainnya dengan daya perusak yang lebih kecil. Demikian pula seseorang akan lebih suka menggunakan pistol daripada menggunakan pisau untuk memenangkan dirinya dari musuh. Determinisme sosial ini apabila menemukan jalannya untuk bergabung dengan deternimisme teknologi, sudah barang tentu akan menjerumuskan manusia kepada suatu malapetaka yang sangat mengerikan, sebuah perang besar antara manusia dan nafsu dengan kepastian nafsu sebagai pemenangnya.

Pernyataan pesimistis tersebut bukan terawangan kosong atau hayalan liar tanpa bukti yang kuat. Realitas telah membuktikan bagaimana masyarakat yang telah berperadaban tinggi dengan kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai dapat menjadi manusia-manusia primitif dalam nilai-nilai kemanusiaan, serta buas dan liar perangainya ketika menggunakan teknologi tinggi. Alih-alih memberikan kepada manusia peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan yang baik, orang-orang dengan teknologi tinggi di tangannya justru menjadi kelompok orang-orang bengis tanpa nurani yang dalam sejarah peradaban manusia dicatat sebagai penumpah darah sesama manusia dan perusak tatanan hidup di muka bumi. Misalnya saja munculnya kaum Nazi di Jerman dan bangsa Amerika yang telah menjatuhkan bom atom di atas kota-kota padat penduduk seperti Hiroshima dan Nagasaki menjelang akhir perang dunia ke-II.

Tentang bangsa Jerman dengan Naziismenya, yakni bagaimana dapat dipahami suatu bangsa sekaligus suatu negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian majunya – bahkan pada masa itu termasuk bangsa yang paling maju di dunia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tidak hanya dalam ilmu teknologi, tetapi juga dalam bidang ilmu filsafat dan reformasi pemikiran keagamaan, juga dalam bidang seni dan budaya – dapat terjerumus pada kebiadaban dan perilaku-perilaku primitif anti kemanusiaan ketika mereka menguasai dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Demikian pula dengan bangsa Amerika yang demi menghancurkan kekuatan Jepang yang telah secara licik menyerang dan menghancurkan Pearl Harbour serta menindas bangsa-bangsa tetangganya di Asia Timur dan Selatan dengan kekejamannya yang tak terlupakan, telah menunjukkan dua sikap yang saling bertentangan tentang nilai moral dan kemanusiaan. Di satu sisi mereka merasa tergugah oleh kebiadaban kaum Nazi dan Jepang yang dengan berbagai agresi militernya telah membunuh dan menyengsarakan kehidupan banyak orang di muka bumi, dan menunjukkan sikap mereka yang membela kemanusiaan dengan menumpas bangsa-bangsa bengis tersebut. Namun di sisi lain bangsa Amerika juga menunjukkan sikap immoral dan kebiadaban yang tak kalah mengerikan dari dua bangsa sebelumnya, yaitu bangsa Jerman dan Jepang. Penjatuhan bom atom yang memiliki daya perusak yang tak terperikan di atas kota padat penduduk yang selain merusak dan membunuh manusia tanpa pandang bulu, juga merusak ekosistem dan seluruh kehidupan yang terdampak ledakan bom tersebut.

Hodgson, dalam hal ini mengungkapkan bahwa seandainya Amerika melakukan pengeboman tersebut cukup hanya satu kali, dan itu pun dijatuhkan di daerah yang jarang penduduk, maka menjadi sangat mungkin penilaian etis dari penggunaan teknologi modern tersebut akan lain dan masih dapat diterima oleh rasa kemanusiaan. Karena apabila penjatuhan bom tersebut dimaksudkan hanya untuk menakut-nakuti tantara Jepang agar bersedia menyerah tanpa syarat, maka penjatuhan bom nuklir di atas wilayah yang bahkan tanpa penduduk sekalipun, tetap akan dapat menyampaikan maksud tersebut, tanpa mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Berdasarkan hal tersebut, kejadian penjatuhan bom nuklir oleh Amerika di kedua kota besar Jepang – Hiroshima dan Nagasaki – tersebut oleh sejarah tercatat sebagai kejahatan terbesar yang tidak terlupakan sepanjang sejarah umat manusia.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa selain deternimisme teknologi dan determinisme sosial berdasarkan teori strukturalisme sebagaimana yang telah dijelaskan, faktor “the man behind the gun” merupakan faktor sentral yang memegang peranan penting dan sangat menentukan dalam menjadikan suatu teknologi menimbulkan manfaat atau mudharat bagi kehidupan. Berkaitan dengan hal ini Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa dalam menghadapi masalah teknologi beserta kemungkinan penggunaannya ke arah yang negatif dan mudharat, maka penggunaan tersebut haruslah disertai dengan nilai-nilai keimanan, amal sholeh, serta adanya sikap saling mengingatkan setidaknya dalam ranah sesama manusia tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa hakekat wujud manusia dalam perspektif keimanan al-Qur’an adalah amalnya, dan nilai amalnya ditentukan oleh kialitas niat serta motivasi batinnya. Dengan kata lain, iman menampakkan wujudnya secara konkrit dalam bentuk amal perbuatan yang bermoral. Adapun amal perbuatan tersebut diwujudkan ke dalam konteks hubungan antara individu dan masyarakat dimana hubungan tersebut adalah hubungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, ada beberapa akhlak Islami yang sepatutnya diterapkan dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, di antaranya:

1.Menghadirkan rasa bertanggung jawab kepada Allah.

Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah milik Allah, diciptakan untuk dimanfaatkan manusia demi meraih kesejahteraan hidupnya. Karena itu penggunaan ilmu pengetahuan pasti akan dituntut pertanggungjawabannya kelah di akhirat. Karena itulah sepatutnya orang-orang yang mendapatkan anugerah berupa ilmu pengetahuan seperti orang-orang yang mendapat limpahan kekayaan dan harta benda yang kelak harus mempertanggungjawabkan apa yang diberikan Allah kepadanya.

2. Jujur.

Kejujuran adalah akhlak yang dimiliki dan diamalkan oleh pada Nabi dan para ulama, mereka adalah orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan keutamaan kejujuran ini, Ibnu Abbas berkata, “Empat perkara apabila ia memilikinya maka beruntunglah ia, yaitu jujur, malu, perilaku yang baik, dan bersyukur.” Muhammad bin Ali al-Kinani berkata, “Menurutku agama Islam dibangun di atas tiga pondasi, yaitu kebenaran, keadilan, dan kejujuran atas pikiran.” Jadi, dalam Islam, seorang yang berilmu haruslah dapat bersikap jujur terhadap ilmunya, tidak boleh menerapkan ilmu yang dimilikinya dengan cara yang tidak semestinya, atau menggunakan ilmunya untuk menipu dan merugikan orang lain.

3. Tidak menyembunyikan Ilmu yang dimilkinya.

Berkaitan dengan hal ini, Allah mengecam orang-orang yang sengaja menyembunyikan ilmu yang diketahuinya dan tidak mengajarkannya kepada orang lain. Firman Allah di dalam surat al-Baqarah (2): 146: “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”

4. Tawadhu’

Orang-orang yang dianugerahi ilmu pengetahuan haruslah bersikap tawadhu’ terhadap orang lain, begitu pula dalam menerapkan ilmu yang dikuasainya. Berkaitan dengan hal ini Allah mengingatkan orang-orang yang sombing karena ilmunya melalui firman-Nya dalam surat al-Qashash (28): 78, “Dan apakah ia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?.” Ayat tersebut memperingatkan kepada orang-orang pada setiap zaman agar tidak tinggi hati dengan apa yang dimilikinya, karena sebagaimana orangorang dahulu yang sombong dengan ilmunya, Allah menimpakan azab hingga memusnahkan mereka, padahal mereka (orang-orang terdahulu) lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya daripada orang-orang modern yang sombong dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya.

5. Ilmu haruslah diamalkan

Dalam Islam, ilmu haruslah diamalkan sebagaimana mestinya agar pemiliknya mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut. Mengenai orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya, Allah berfirman dalam surat al-A’raf (7): 175, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan dan isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga ia tergoda), maka jadilah termasuk orang-orang yang sesat.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan, tetapi ia melepaskan diri atau tidak mau mengamalkan ilmu tersebut, maka ia akan tersesat dan mendapatkan kerugian sepanjang hidupnya.

6. Ilmu pengetahuan tidak boleh melupakan manusia dari akhirat

Sehebat apapun ilmu yang dimiliki seseorang, tidak boleh melupakannya dari kehidupan akhirat. Perlu diketahi bahwa adanya ilmu pengetahuan adalah agar manusia semakin mendekatkan diri dengan Allah dan mempersiapkan hidupnya untuk kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan akhirat. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu orang-orang yang dengan ilmunya justru menjadikan ia lalai dan semakin menjauh dari Allah, maka tidak bergunalah ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dan inilah kebodohan yang nyata.

Dari uraian di atas, dapat dipahami betapa akhlak Islami menduduki posisi yang amat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dimaksudkan untuk emelihara agar ilmu pengetahuan tidak menjadi penyebab bencana dan malapetaka bagi kehidupan manusia, serta kerusakan alam semesta sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lalu. Tanpa adanya landasan akhlak Islami, maka ilmu pengetahuan dan teknologi rentan menjadi alat untuk memuaskan hawa nafsu manusia yang menguasainya. Berdasar pentingnya akhlak Islam dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana diuraikan di atas, maka penting pula menjadikan aqidah dan syariah Islam sebagai landasan dalam pengembangannya.

Hendaknya aqidah dan syariah Islam ditempatkan sebagai paradigma dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma aqidah Islam artinya menjadikan aqidah Islam sebagai landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan baik pengembangan maupun penerapannya. Dengan demikian aqidah Islam akan menjadi standar penerapan bagi segala ilmu pengetahuan. Artinya, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan yang tidak sejalan dengan kemaslahatan manusia, kontra produktif, dan bahkan membahayakan eksistensi kehidupan di muka bumi ini harus ditolak dan dihentikan. Sebaliknya, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, melestarikan lingkungan dan alam, harus dilanjutkan dan diajarkan kepada banyak orang agar tercapai kemaslahatan hidup bersama.

RANGKUMAN

Paradigma ilmu bebas nilai menyerukan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai apapun. Artinya segala kegiatan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor-faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakan pengetahuan tersebut, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat, atau malah sebaliknya dipergunakan untuk tujuan yang mudharat.

Paradigma ilmu tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu harus selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut paham kelompok ini, pengembangan dan penerapan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik kepentingan politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagainya.

Dalam menghadapi masalah teknologi beserta kemungkinan penggunaannya ke arah yang negatif dan mudharat, maka penggunaan tersebut haruslah dilandasi dengan akhlak islami yang terdiri dengan nilai-nilai keimanan, amal sholeh, serta adanya sikap saling mengingatkan setidaknya dalam ranah sesama manusia tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Sehingga dengan demikian penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diarahkan kepada penerapan yang bermanfaat dan maslahat untuk kehidupan umat manusia.

LATIHAN

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

  1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan paradigma ilmu bebas nilai?
  2. Apa pengaruh pandangan ilmu bebas nilai terhadap perkembangan teknologi?
  3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan paradigma ilmu tidak bebas nilai?
  4. Nurcholis Madjid membagi ilmu pengetahuan menjadi dua macam, sebutkan!
  5. Siapa tokoh yang menjunjung paradigma ilmu tidak bebas nilai dan jelaskan pandangannya?
  6. Jelaskan perbedaan istilah taqdir dan sunnatullah?
  7. Apa yang dimaksud dengan determinisme teknologi?
  8. Apa yang dimaksud dengan teori strukturalistik dan siapa penganutnya?
  9. Apa yang terjadi jika iptek diterapkan tanpa dilandasi oleh akhlak Islami?
  10. Nilai apa saja dalam Islam yang perlu menjadi landasan penerapan iptek?

PETUNJUK JAWABAN LATIHAN

Untuk menjawab pertanyaan no. 1 – 10 silahkan dibaca kembali materi di atas

. 1 – 10 silahkan dibaca kembali materi di atas

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling benar!

  1. Paradigma ilmu bebas nilai menyerukan agar? a. Ilmu tidak terikat nilai 80 AIK 4 (Keilmuan Hukum) b. Ilmu terikat nilai c. Ilmu harus ditolak
  2. Tradisi ilmu bebas nilai telah dipraktekkan oleh ilmuwan yang bernama? a. Habermas b. Galileo c. Hodgson
  3. Tokoh yang mempelopori paradigma ilmu tidak bebas nilai adalah? a. Habermas b. Galileo c. Hodgson
  4. Ilmu yang variabelnya terbatas disebut? a. Ilmu keras (hard science) b. Ilmu lunak (soft science) c. Ilmu sihir (Magic)
  5. Ilmu yang variabelnya tidak terbatas disebut? a. Ilmu teknologi (hard science) b. Ilmu sosial (soft science) c. Ilmu sihir (Magic)
  6. Dalam al-Qur’an, istilah ilmu teknologi disebut sebagai?a. Taqdir b. Sunnatullah c. Qadha’
  7. 7.Karakter yang melekat pada ilmu pengetahuan disebut dengan istilah? a. Determinisme filsafat b. Determinisme sosial c. Deternimisme teknologi
  8. Teori strukturalistik dianut oleh kaum? a. Muslimin b. Kristen c. Marxis
  9. Contoh bangsa dengan penerapan teknologi maju tanpa landasan akhlak Islami adalah? a. Nazi Jerman AIK 4 (Keilmuan Hukum) 81 b. Usmaniyah c. Mesir
  10. Nilai dalam Islam yang menjadi landasan penerapan iptek antara lain? a. Kepatuhan b. Iman dan amal sholeh c. Ketundukan

KUNCI JAWABAN TER FORMATIF

TES FORMATIF 1

  1. c. Eropa 2. b. Menolak 3. a. Copernicus 4. a. Copernicus 5. a. Akal 6. b. Rene Descartes 7. c. Ilmu untuk ilmu 8. a. Moral agama 9. c. Surat al-’alaq 10.a. Khalifah

TES FORMATIF 2

  1. a. Ilmu tidak terikat nilai 2. b. Galileo 3. a. Habermas 4. a. Ilmu keras (hard science) 5. b. Ilmu sosial (soft science) 6. a. Taqdir 7. c. Deternimisme teknologi 8. c. Marxis 9. a. Nazi Jerman 10. b. Iman dan amal sholeh

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Mesir: Dar al-Ma’rifah, 2000

Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Geman Insani Press, 1998. Hawwa, Said, Tazkiyatun Nafs: Intisari Ikhya’ Ulumuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.

Madjid, Abdul, dkk, Al-Islam, Malang: UMM Press, 1996. Madjid, Nurcholis. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina Press, 2009.

………………….. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.

Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.

Razak, Nasrudin. Dienul Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1973.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2001


Tinggalkan komentar

Kategori